Senin, 19 November 2012

Assalamu'alaikum wr.wb.
Kisahnya.
Semua sudah tahu kan dengan sosok pemimpin Islam yang menjadi Khalifah kedua, dialah Umar bin Khattab r.a. Umar bin Khattab ini masuk dalam Islam berkat hidayah dari Allah yang pertama, yang kedua berkat doa Rasulullah SAW dan yang ketiga berkat adiknya Fatimah yang terlebih dulu menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW berkat lantunan ayat suci Al-Qur'an yang dibacanya.
Doa Rasulullah kala itu adalah,
"Semoga Allah memberi kejayaan pada Islam dengan masuknya Umar ke dalam Islam."
Dan Allah SWT pun mengabulkan doa tersebut.

Kembali ke pokok cerita, antara Khalifah Umar dan rakyat.
Umar adalah sosok pemimpin teladan yang sangat mengerti kepentingan rakyatnya. Padahal ia sendiri hidup dalam kondisi sangat sederhana.
Pada suatu malam, sudah menjadi kebiasaan bahwa Khalifah Umar bin Khattab sering berkeliling mengunjungi, menginvestigasi kondisi rakyatnya dari dekat.
Nah, pada suatu malam itu, ia menjumpai sebuah gubuk kecil yang dari dalam terdengar suara tangis anak-anak. Ia pun mendekat dan mencoba untuk memperhatikan dengan seksama keadaan gubuk itu.

Dialog Umar bin Khattab dengan seorang Ibu.
Ternyata dalam gubuk itu terlihat seorang ibu yang sedang memasak, dan dikelilingi oleh anak-anaknya yang masih kecil.
Si ibu berkata kepada anak-anaknya,
"Tunggulah...! Sebentar lagi makanannya matang."
Sang Khalifah memperhatikan dari luar, si ibu terus menerus menenangkan anak-anaknya dan mengulangi perkataannya bahwa makanan yang dimasaknya akan segera matang.
Sang Khalifaf menjadi sangat penasaran, karena yang dimask oleh ibu itu tidak kunjung matang, padahal sudah lama dia memasaknya.

Akhirnya Khalifah Umar memutuskan untuk menemui ibu itu,
"Mengapa anak-anakmu tidak juga berhenti menangis, Bu..?" tanya Sang Khalifah.
"Mereka sangat lapar," jawab si ibu.
"Kenapa tidak cepat engkau berikan makanan yang dimasak dari tadi itu?" tanya Khalifah.
"Kami tidak ada makanan. Periuk yang dari tadi aku masak hanya berisi batu untuk mendiamkan mereka. Biarlah mereka berfikir bahwa periuk itu berisi makanan, dengan begitu mereka akan berhenti menangis karena kelelahan dan tertidur." jawab si ibu.

Setelah mendengar jawab si ibu, hati sang Kahlifah Umar bin Khattab serasa teriris.
Kemudian Khalifah bertanya lagi,
"Apakah ibu sering berbuat demikian setiap hari?"
"Iya, saya sudah tidak memiliki keluarga atau pun suami tempat saya bergantung, saya sebatang kara...," jawab si ibu.
Hati dari sang Khalifah laksana mau copot dari tubuh mendengar penuturan itu, hati terasa teriris-iris oleh sebilah pisau yang tajam.
"Mengapa ibu tidak meminta pertolongan kepada Khalifah supaya ia dapat meolong dengan bantuan uang dari Baitul Mal?" tanya sang khalifah lagi.
"Ia telah zalim kepada saya...," jawab si ibu.
"Zalim....," kata sang khalifah dengan sedihnya.
"Iya, saya sangat menyesalkan pemerintahannya. Seharusnya ia melihat kondisi rakyatnya. Siapa tahu ada banyak orang yang senasib dengan saya!" kata si ibu.




Khalifah Umar bin Khattab kemudian berdiridan berkata,
"Tunggulah sebenatar Bu ya. Saya akan segera kembali."

Bantuan dari Khalifah.
Di malam yang semakin larut dan hembusan angin terasa kencang menusuk, Sang Khalifah segera bergegas menuju Baitul Mal di Madinah. Ia segera mengangkat sekarung gandum yang besar di pundaknya ditemani oleh sahabatnya Ibnu Abbas. Sahabatnya membawa minyak samin untuk memasak.
Jarak antara Madinah denga rumah ibu itu terbilang jauh, hingga membuat keringat bercucuran dengan derasnya dari tubuh Umar. Melihat hal ini, Abbas berniat untuk menggantikan Umar untuk mengangkat karung yang dibawanya itu, tapi Umar menolak sambil berkata,
"Tidak akan aku biarkan engkau membawa dosa-dosaku di akhirat kelak. Biarkan aku bawa karung besar ini karena aku merasa sudah begitu bersalah atas apa yang terjadi pada ibu dan anak-anaknya itu."

Beberapa lama kemudian sampailah Khalifah dan Abbas di gubuk ibu itu.
Begitu sekarung gandum dan minyak samin itu diserahkan, bukan main gembiranya mereka. Setelah itu, Umar berpesan agar ibu itu datang menemui Khalifah keesokan harinya untuk mendaftarkan dirinya dan anak-anaknya di Baitul Mal.
Setelah keesokan harinya, ibu dan anak-anaknya pergi untuk menemui Khalifah. Dan betapa sangat terkejutnya si ibu begitu menyaksikan bahwa lelaki yang telah menolongnya tadi malam adalah Khalifahnya sendiri, Khalifah Umar bin Khattab.
Segera saja si ibu minta maaf atas kekeliruannya yang telah menilai bahwa khalifahnya zalim terhadapnya. Namun Sang Khalifah tetap mengaku bahwa dirinyalah yang telah bersalah.

Nah, itulah kisah pemimpin teladan kita kali ini, sahabat Rasulullah SAW, Khalifah Umat Islam yang kedua, Umar bin Khattab.
Pelajaran berharga ini juga ada di Indonesia loh...yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh pemerintah, seperti pada zaman Khalifah Umar bin Khattab yang menyuruh rakyatnya yang miskin untuk mendaftarkan diri di Baitul Mal dalam cerita di atas.

Akhir Kalam,
Wudhu’ ( الْوُضُوْءُ ) adalah sebuah sunnah (petunjuk) yang berhukum wajib, ketika seseorang mau menegakkan sholat. Sunnah ini banyak dilalaikan oleh kaum muslimin pada hari ini sehingga terkadang kita tersenyum heran saat melihat ada sebagian diantara mereka yang berwudhu’ seperti anak-anak kecil, tak karuan dan asal-asalan. Mereka mengira bahwa wudhu itu hanya sekedar membasuh dan mengusap anggota badan dalam wudhu’. Semua ini terjadi karena kejahilan tentang agama, taqlid buta kepada orang, dan kurangnya semangat dalam mempelajari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Banyak diantara kita lebih bersemangat mempelajari dan mengkaji masalah dunia, bahkan ahli dan pakar di dalamnya. Tiba giliran mempelajari agama, dan mengkajinya, banyak diantara kita malas dan menjauh, sebab tak ada keuntungan duniawinya. Bahkan terkadang menuduh orang yang belajar agama sebagai orang kolot, dan terbelakang. Ini tentunya adalah cara pandang yang keliru. Na’udzu billahi min dzalik.
Para pembaca yang budiman, demi menghilangkan kejahilan dan keraguan kita tentang cara berwudhu’, maka ada baiknya kami mengajak anda berkeliling menikmati dan memperhatikan hadits-hadits Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- yang menjelaskan tata cara dan kaifiat wudhu yang benar. Karena pembahasan wudhu’ ini agak panjang, maka –insya’ Allah- kami akan menurunkan pembahasan ini secara musalsal (berseri).
  • Batasan Wudhu’
Bila menilik kitab-kitab dan manuskripsi klasik dan kontemporer para ulama kita, maka anda akan menjumpai bahwa para ahli ilmu telah membahas definisi dan batasan wudhu’ ( الْوُضُوْءُ ) dari sisi bahasa maupun istilah dalam syara’.
Seorang ahli bahasa, Al-Imam Ibnul Atsir Al-Jazariy -rahimahullah- menjelaskan bahwa jika dikatakan wadhu’ ( الْوَضُوْءُ ), maka yang dimaksud adalah air yang digunakan berwudhu. Bila dikatakan wudhu’ ( الْوُضُوْءُ ), maka yang diinginkan disitu adalah perbuatannya. Jadi, wudhu adalah perbuatan, sedang wadhu’ adalah air wudhu’. [Lihat An-Nihayah fi Ghoribil Hadits (5/428)]
Syari’at wudhu’ mengandung hikmah yang amat dalam. Diantara hikmah wudhu’, seorang dibimbing agar ia memulai aktifitas ibadah dan kehidupannya dengan kesucian dan keindahan. Sebab wudhu itu sebenarnya bermakna keindahan, dan kesucian [Lihat Ash-Shihhah fil Lughoh (2/282) karya Al-Jauhariy]
Al-Hafizh Ibnu Hajar Asy-Syafi’iy -rahimahullah- berkata, "Kata wudhu’ terambil dari kata al-wadho’ah/kesucian ( الْوَضَاءَةُ ). Wudhu disebut demikian, karena orang yang sholat membersihkan diri dengannya. Akhirnya, ia menjadi orang yang suci". [Lihat Fathul Bariy (1/306)]
Adapun makna wudhu’ menurut tinjauan syari’at, kata Syaikh Sholih Ibnu Ghonim As-Sadlan -hafizhohullah-,
مَعْنَى الْوُضُوْءِ : اسْتِعْمَالُ مَاءٍ طَهُوْرٍ فِي اْلأَعْضَاءِ اْلأَرْبَعَةِ عَلَى صِفَةٍ مَخْصُوْصَةٍ فِي الشَرْعِ
"Makna wudhu’ adalah menggunakan air yang suci lagi menyucikan pada anggota-anggota badan yang empat (wajah, tangan, kepala, dan kaki) berdasarkan tata cara yang khusus menurut syari’at". [Lihat Risalah fi Al-Fiqh Al-Muyassar (hal. 19)]
  • Kewajiban-kewajiban Wudhu’
Para ulama fiqih telah menerangkan bahwa wudhu memiliki kewajiban-kewajiban ( فُرُوْضٌ ), yakni anggota-anggota badan yang harus dan wajib dibasuh (dicuci). Kewajiban-kewajiban ( فُرُوْضٌ ) tersebut adalah:
  1. Membasuh wajah. Termasuk wajah, adalah hidung, dan mulut.
  2. Membasuh kedua tangan sampai kepada dua siku.
  3. Mengusap kepala (termasuk kepala, adalah kedua telinga kita)
  4. Membasuh kedua kaki sampai kepada kedua mata kaki
  5. Melakukannya secara berurutan sesuai yang disebutkan dalam Al-Qur’an (QS. Al-Maa’idah : 6)
  6. Dilakukan secara beruntun, tanpa selang waktu yang lama.
Inilah enam furudh (kewajiban) bagi wudhu’ yang harus anda penuhi. Kapan ada salah satunya yang tak terpenuhi, maka wudhu’ kita tak sah, walaupun berwudhu’ beribu-ribu kali. Enam perkara ini telah disebutkan oleh Allah dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki". (QS. Al-Maa’idah:6)


Merindukan Sosok Khalifah Umar bin Khattab r.a

Sebagai Umat Islam, pastilah kita mengenal sosoknya. Sosok yang begitu amat dikagumi kala itu, salah satu Amirul Mu’minin “Umar bin Khattab”. Walaupun kita tidak mengenal sosok beliau secara pribadi tetapi melalui membaca sejarah, kita dapat mengetahui bagaimana beliau bisa menjadi seorang Amirul Mu’minin yang begitu dicintai oleh rakyatnya.

Saat ini, kita hanya dapat mengenal sosok beliau melalui sejarah saja. Andai kita dapat ikut merasakan bagaimana rasanya kepemimpinan beliau, mungkin kita sebagai Umat Islam akan merasa bersedih. Karena hingga saat ini Indonesia belum mampu mempunyai seorang sosok “Pemimpin Pro Rakyat”.
Pemimpin Indonesia, masih sering memikirkan dirinya sendiri tak peduli dengan rakyatnya. Jauh berbeda dengan sosok Amirul Mu’minin “Umar bin Khatab”. Sebagai pengganti khalifah Abu Bakar, mestinya khalifah Umar mendapat gaji lebih banyak dari Abu Bakar, sebab wilayah kekhalifahan islam semakin luas, sehingga semakin banyak pula tugas dan kewajiban khalifah Umar, rakyatpun semakin makmur. Tetapi ia meminta penerimaan gajinya sama dengan khalifah Abu Bakar pendahulunya.

Para sahabat merasa iba dan prihatin atas sikap dan kesederhanaan khalifah Umar itu. Beberapa kali mereka mengusulkan agar khalifah umar mau menerima gaji yg sesuai dengan tanggung jawabnya, namun usulan itu selalu di tolaknya.
“Kenapa kalian memaksaku untuk menerima gaji yg melebihi dari kebutuhanku?” kata khalifah Umar. “Ketahuilah meskipun Rasulullah diampunkan dosanya yg telah lewat dan yg akan datang, namun beliau tetap memilih hidup melarat, tetapi tetap bersemangat dalam beribadah, apalagi aku?”. Itulah khalifah Umar bin Khattab yg terkenal dengan kezuhudanya. Meski dia sebagai kepala negara atau amirul mukminin, dia tak tergiur oleh gemerlapnya harta benda. Jangankan untuk korupsi, mengambil yg menjadi haknya sendiri saja ia enggan melakukannya.

Itulah sosok Umar bin Khatab yang tidak mau menerima gaji yang besar walaupun tanggung jawab yang beliau emban cukuplah besar. Berbeda sekali dengan para pemimpin kita saat ini, inginnya gaji besar tetapi tanggung jawab yang diemban cukup kecil.
Selain itu Umar bin Khatab adalah sosok seorang pemimpin yang tidak pernah mau melihat anaknya hidup berfoya-foya walaupun ayahnya adalah seorang pemimpin. Suatu hari Umar bin Khattab r.a mendengar bahwa salah seorang anaknya membeli cincin bermata seharga seribu dirham. ia segera menulis surat teguran kepadanya dengan kata-kata sebagai berikut: “Aku mendengar bahwa engkau membeli cincin permata seharga seribu dirham. Kalau hal itu benar, maka segera juallah cincin itu dan gunakan uangnya untuk mengenyangkan seribu orang yang lapar, lalu buatlah cincin dari besi dan ukirlah dengan kata-kata, “Semoga Allah merahmati orang yang mengenali jati dirinya.”

Marilah kita lihat saat ini kehidupan anak-anak para pemimpin kita. Mereka bisa hidup enak dan berfoya-foya dengan segala fasilitas negara. Tanpa mereka sadari bahwa apa yang mereka gunakan adalah milik rakyat.
Umar bin Khatab juga merupakan seorang pemimpin yang mau mengakui kesalahannya dan meminta maaf atas kesalahannya dengan berani. Hal ini pernah terjadi ketika Umar bin Khattab r.a sedang berkhutbah,” Jangan memberikan emas kawin lebih dari 40 uqiyah (1240 gram). Barangsiapa melebihkannya maka kelebihannya akan kuserahkan ke baitul maal.” Dengan berani, seorang wanita menjawab,”Apakah yang dihalalkan Allah akan diharamkan oleh Umar? Bukankah Allah berfirman,……sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka sejumlah harta, maka janganlah kamu mengambil dari padanya sedikitpun………(An Nisaa’:20) Umar berkata,” Benar apa yang dikatakan wanita itu dan Umar salah.

Apakah saat ini kita pernah melihat pemimpin kita yang mau mengakui kesalahnnya tanpa pernah mau mengalahkan orang lain. Dengan besar hati dan legowo mau mengakui segala kesalahan yang telah dilakukannya.
Umar bin Khatab juga merupakan seorang pemimpin yang sangat peduli pada rakyatnya. Hal ini sangat berbeda dengan para pemimpin kita saat ini. Tak ada pemimpin yang peduli dengan rakyat sepedulinya Umar bin Khatab, beliau selalu meninjau rakyatnya dari rumah ke rumah tanpa diketahui oleh rakyatnya. Jika sekarang mana ada pemimpin yang mau seperti itu berjalan dari satu rumah ke rumah yang lain untuk melihat saat ini rakyatnya sedang makan apa. Mereka tidak peduli sama sekali.

Inilah cerita tentang ibu yang memasak batu untuk menipu anak anaknya yang sedang kelaparan. Suatu malam Umar bersama Aslam salah seorang ajudannya menyamar untuk melakukan inspeksi keluar masuk kampung untuk melihat kondisi rakyatnya. Di salah satu sudut kampung terdengarlah rintihan pilu anak anak yang sedang menangis, dan di sana Umar menemukan seorang ibu yang sedang memasak sesuatu di tungkunya. “Wahai ibu anak anak mu kah yang sedang menangis itu? Apa yang terjadi dengan mereka?”
“Mereka adalah anak anakku yang sedang menangis karena kelaparan” jawab sang Ibu sambil meneruskan pekerjaannya memasak.

Setelah memperhatikan sekian lama, Umar dan Aslam keheranan karena masakan sang ibu tidak juga kunjung siap sementara tangisan anak anaknya semakin memilukan. “Wahai Ibu, apa yang engkau masak? Mengapa tidak juga kunjung siap untuk anak anakmu yang kelaparan?” . “Engkau lihatlah sendiri … “ dan alangkah terkejutnya Umar ketika melihat bahwa yang sedang di masak sang ibu adalah setumpuk batu. “Engkau memasak batu untuk anak anakmu?!!??”
“Inilah kejahatan pemerintahan Umar Bin Khattab …. “ rupanya sang ibu tidak mengenali siapa yang sedang berdiri di hadapannya, “ … wahai orang asing, aku adalah seorang janda, suamiku syahid di dalam perang membela agama dan negara ini, tapi lihatlah apa yang telah dilakukan Umar, dia samasekali tidak peduli dengan kami, dia telah melupakan kami yang telah kehilangan kepala rumah tangga pencari nafkah. Hari ini kami tidak memiliki makanan sedikitpun, aku telah meminta anak anakku untuk berpuasa, dengan harapan saat berbuka aku bisa mendapatkan uang untuk membeli makanan … tapi rupanya aku telah gagal mendapatkan uang .. memasak batu aku lakukan untuk mengalihkan perhatian anak anakku agar melupakan laparnya …. “
“ …. sungguh Umar Bin Khattab tidaklah layak menjadi seorang pemimpin, dia hanya memikirkan dirinya sendiri”

Aslam sang ajudan hendak bergerak untuk menegur sang sang Ibu, hendak memperingatkan dengan siapa dia sedang berbicara saat ini. Tapi Umar segera melarangnya dan serta merta mengajaknya untuk pulang. Bukannya langsung beristirahat, Umar segera mengambil satu karung gandum dan dipikulnya sendiri untuk diberikan kepada sang Ibu.
Beratnya beban karung gandum membuat Umar berjalan terseok seok, nafasnya tersengah engah dan keringat mengalir deras di wajahnya. Aslam yang melihat ini segera berkata “ Wahai Amirul Mukminin, biarlah saya saja yang membawa karung gandum itu …. “
Umar memandang Aslam sang ajudan “ … Wahai Aslam! Apakah engkau ingin menjerumuskan aku ke neraka? Hari ini mungkin saja engkau mau menggantikan aku memikul beban karung ini, tapi apakah engkau mau menggantikan aku untuk memikulnya di hari pembalasan kelak?”
Tak ada pemimpin jaman sekarang yang mau melakukan apa yang telah dilakukan oleh Umar? Jangankan menggendong sekarung gandum, buku agenda atau kertas catatan yang ringan saja pun akan meminta sang ajudan untuk membawakannya.
Apakah masih ada pemimpin seperti Umar yang merelakan tidur nyenyaknya hilang karena berusaha untuk melihat, mencari tahu dan berhadapan secara langsung dengan penderitaan rakyatnya? Dan bukannya hanya sekedar mendengar dari ‘ bisik bisik manis’ sang ajudan dan orang orang terdekat, atau sekedar laporan ABS (Asal Bapak Senang).kisah